“Hay……” sapa mama pagi ini kepadaku. Namun aku sama sekali tidak menggublisnya malah langsung pergi mengambil tas dan langsung berangkat menuju sekolah. Entah apa yang kulakukan saat itu. Begitu menusuk hati tampaknya. Tapi pikirku, “Biarkan!”. Kulihat mama langsung diam dan duduk ke sofa ruang tamu. Namun meskipun seperti marah mama tetap saja tersenyum kepadaku sebelum aku pamit berangkat.
Entahlah apa yang kulakukan. Aku tahu berdosa, namun rasanya hatiku begitu panas dengan mama. Iya aku sedang marah. Marah ke mama karena aku tidak dibelikan handphone baru sama seperti yang dipunyai kakak. Padahal seminggu lalu mama sudah menjanjikan itu padaku. Namun tiba – tiba, kemari ia berkata bahwa tidak jadi membelikan handphone. Aku tahu sih keperluan kakakku cukup banyak, jadi uangnya untuk biaya kuliah kakakku. Namun aku merasa berat untuk melepaskannya. Sebab hatiku sudah kadung berbunga – bunga. Bagai ditumbuhi seribu bunga mawah dan berjuta bunga melati. Namun sekarang tinggal bunga kamboja yamg tertanam di hatiku. Marah.
Aku tahu, kehidupan ekonomiku sekarang sedang tidak naik lagi setelah sepeninggalan papa. Namun aku sungguh berharap mama mengerti perasaanku yang sudah tak karuan ini.
Gubrak!aku terjatuh terkena tersandung batu yang menonjol ke jalan. Hatiku yang dongkol membuatku menjadi tidak konsen berjalan. Hanya memikirkan perihnya hatiku sekarang. Orang yang melihatku pun tak dapat menahan tawanya apalagi ini sudah melewati kawasan dekat sekolah. Jadi banyak anak – anak yang melihatku. Aku malu.
“Hilwa, denger – denger di depan tadi kamu jatuh?” tanya Ami setelah aku sampai ke kelas. “Santai saja sobat – sobatku, keadaanku tidak apa – apa kok. Hanya lecet sedikit saja, niih!” jawabku serta menyodorkan siku kananku kepada tiga sahabatku yang penasaran akan jawabanku. “Yee….siapa yang tanya kamu baik – baik aja apa enggak. Kan aku tanya, tadi kamu apa jatuh di depan sekolah?” ujar Ami seraya mengeraskan dan menekan ucapannya. “He he he, macam Pak Toni aja, kalimatnya ditekan – tekan!” jawabku meledek. “Ah capek aku bicara sama kamu, Hil. Lebih mending aku lanjutkan tugasku dulu. Huh…menyebalkan!” ujarnya dengan kesal. Aku hanya menggeleng dan segera senaruhkan tas punggungku ke bangkuku.
Sebenarnya aku masih merenungkan sikapku tadi kepada mama. Aku memang seperti anak durhaka. Tapi kalau aku protes lagi ke mama pasti jawabnya hanya itu – itu saja. Bikin bosen!
“Kenapa kamu, Hil. Tumben – tumbennya kamu mikir. Biasanya kan kamu duduk lalu berdiri lagi, terus pergi ke kantin. Enggak biasanya kamu kayak gini” ujar Sita teman sebangkuku. Aku hanya tersenyum dan mengangkat tanganku lalu mencubit pipi Sita yang tembem itu.
“Ih…sakit tau! Gimana sih, Hil. Pagi ini kamu bener – bener aneh deh, ditanya ini jawabnya nggak nyambung. Ditanya itu jawabnya aneh. Sebenarnya kamu ini sakit apa sih. Sakit jiwa ya..????” gerutu Sita kesakitan. “Enggak, nih pipi kamu cute juga!” jawabku aneh. “Ih nggak nyambung banget sih. Dah kamu duduk sama Rasty aja tu di depan, aku bingung sama kamu!” perintah Sita seraya mengangkat tangannya untuk menghantam tanganku yang sebentar lagi jatuh ke pipinya untuk kedua kalinya. “Enggak….enggak. Aku gak bakal ulangi lagi hari ini, tapi kalo besuk nggak papa yah? He he he…becanda” ujarku sambil tertawa yang seolah tak membuat Sita kesal.
Sita menghela nafas dan menggeleng. Ku rasa memang aneh sikapku hari ini dengan temanku. Gara – gara kejadian tadi pagi dengan mama di kelas malah jadi salah tingkah. Lucu deh.
Semua pelajaran telah berlalu hari ini. Aku segera pulang dan bertemu mamaku kembali. Aku sih berharap supaya sikapku di rumah nanti lebih lembut kepada mama. Tapi kalau hatiku lain ya sudahlah aku ikut hatiku saja.
Tok tok tok, ku ketuk pintu rumahku yang terkunci. Namun tidak aja jawaban sama sekali dari mama. Pikirku, “Mama ke mana ya? Kok tumben – tumbennya siang – siang gini nggak ada di rumah. Jangan – jangan ke tetangga sebelah”. Aku pun mengetok pintu tetangga sebelah yang sangat akrab dengan mama. Namun balasannya mama tidak ada juga di situ. Aku pun menunggu mama di depan rumah sambil membaca koran yang tergeletak bertumpuk di teras. Ku baca satu persatu kata, ku buka satu per satu halaman. Namun setelah dua jam menunggu mama, mama belum juga datang.
Aku tidak tahu arah langkahku. Ku ikuti ke mana saja kakiku melangkah. Tapi, tanpa ku sadari mobil sedan melaju kencang di jalan yang kusebrangi. Kurang sekitar dua meter lagi aku sampai di bibir jalan. Namun naas aku terlalu kaget untuk berlari menuju bibir jalan. Dan akhirnya…brak……!!!aku baru sadar beberapa jam setelah kejadian itu menimpaku. Aku tidak tahu apa arti semua ini. Terasa berat untuk menerima semua keadaan yang sekarang aku alami. Kakiku terkena luka parah dan harus diamputasi. Dan akhirnya aku hanya mempunyai satu kaki. Namun sebaliknya mamaku masih saja berusaha menyabarkanku. Hal yang aku pinta telah dibelikan mamaku. Aku jadi mempunyai handphone baru yang mahal, namun sebagai bayarannya aku harus kehilangan satu kakiku.
Aku sangat terharu dengan sikap mama kepadaku. Begitu lugu merawat dan memberikan apa yang ku pinta. Meskipun aku sudah bersikap kasar, sekasar mungkin. Namun mama tetap saja sabar merawat dan membimbingku. Sekarang kusembahkan senyum untuk mama yang rasanya sangat berkesan buat mama. Satu bait hadiah dari anak tercinta. Sebuah senyuman untuk dirinya sangat indah di hatinya. Terima kasih mama, sudah mau menerima senyumku untuk yang kesekian kalinya.
:)SELESAI:)