Rabu, 29 Mei 2013

Mei Akan Pergi

Kuceritakan sedikit tentang Bulan Mei. Dulu sebelum aku merasakan bisikan Mei, aku merasa Mei susah berlalu. Lama menunggu sampai-sampai terjerat rindu pada seseorang yang sama sekali tak pernah peduli. Kata-kataku terlalu jahat, jika terlalu hiperbola, maaf, aku hanya ingin menguatkan kalimat. Dan menyelaraskan dengan apa yang terjadi.

Aku sudah cukup sadar menikmati Mei dengan penuh kecemasan, ketenangan, santai, dan rindu. Semua dilebur menjadi satu. Mengawali Mei, menikmati Mei, dan segera mengucapkan selamat tinggal kepada Mei. Itu berarti semakin cepat aku menerima hasil Ujian Nasionalku dan segera pergi jauh darimu. Dari seseorang yang tadi kusebut.

Bulan Mei memang berkenang, namun sedikit saja aku melihatmu. Sedikit bahkan sebentar. Maka sebelum Juni tiba dan setelah itu aku pergi, boleh, ya, aku memandangmu agak lama? Ini tidak menyakitkanmu. Bahkan akan menyakitkanku sendiri. Kamu diam dan tenang saja. Itu sedikit dari berbagai caraku menjagamu. Tersembunyi tapi pasti.

Kau tahu sendiri, Mei akan pergi dan aku segera pada sekolahku yang baru. Kamu tetap di situ duduk manis bersama seseorang yang kau cintai dan mencintaimu. Sampai pada saatnya rasa sayang itu benar-benar kuat, aku merasakan sesuatu (harus) hilang dari rangka tubuhku saat nanti kita berpisah. Berbeda tempat belajar, guru, berbeda arah ketika pagi-pagi kita berangkat sekolah. Tidak seperti dulu.

Mei akan pergi dan aku segera pergi. Sesekali masih kusaksikan engkau berangkat sekolah dengan seragam dan ransel mu, meski lewat kenangan yang ada.

Sampai pada alenia terakhir aku akan jujur saja. Sebagian besar ini bukan tentang Mei, tapi ini tentang kamu. Tentang seseorang yang kusebutkan di atas.

Dan untuk Mei, kita akan sama-sama berlalu. 

Jumat, 24 Mei 2013

Apa Aku Harus Yakin Kalau Ini Rindu?

Susah memang mengatakan sesuatu yang indah sebagai sebuah keburukan. Begitu juga denganmu. Tak pernah sekalipun dalam seumur hidupku setelah aku mengenalmu dengan begitu sedikit, aku mengatakan sesuatu yang negatif tentangmu, sama sekali tidak pernah. Jikalau pernah, sebenarnya itu bukan dari hati. Aku hanya ingin mengganjal pikiran orang saja agar tak terlihat kalau aku benar-benar mengagumimu, sangat.

Beberapa hari ini hariku semakin senyap. Kurasakan lambat laun senyummu hilang dari ingatan. Aku tak sengaja, maaf. Tapi ini yang Tuhan mau. Aku harus sadar, ada waktu kita bertemu dan ada waktu juga kapan kita akan berpisah. Menyesali pertemuan disaat perpisahan akan digelar memang sering kali kulakukan. Kini, harus kusesali. Perpisahan menyurutkan kenangan yang semakin menggenang. Semakin dalam semakin susah dilupa. Makanya, Tuhan memisahkan kita dalam waktu dekat ini.

Kalau dibilang rindu, aku tak tahu. Yang kurasakan, seluruh ingatan yang berkaitan denganmu, sedikit demi sedikit memudar. Menghilangkan bekas noda bernama rindu. Jika aku salah mengartikan, maafkan saja. Aku hanya manusia biasa. Tapi apa benar ini disebut rindu? Secepat inikah aku merasakan perihnya? Aku tak suka. Namun harus kurasakan. Kamu, boleh saja merasakan, tapi jangan banyak-banyak. Sakit, lho, sakit sekali.

Mungkin ini benar-benar rindu. Oh, atau hanya rasa takut tentang kehilangan. Ah, semua dilebur di tempat yang sama. Kamu, rindu, perpisahan, kehilangan, cinta, sayang, semua ada di sini, di hatiku.

Sebelum aku berhenti mencintaimu, berhenti mencintai tanganmu, apa aku harus mencicipi rindu sebelum perpisahan dan kehilangan itu benar-benar terjadi?

Ya, aku yakin, ini benar-benar rindu. Wajahmu jarang sekali menyalamiku. Apalagi senyummu sudah sangat jarang terkulum untukku. Terus, sekarang apa lagi yang akan kau jauhkan padaku? Ah, semua yang kau sandarkan dulu dan kini kau jauhkan benar-benar semakin melilit tempat di mana kusimpan semua kenangan.

Aku rindu padamu. Pada semua yang ada padamu, terutama tanganmu.

Rabu, 22 Mei 2013

Aku Masih Simpan

Apa kau tahu apa yang kusimpan kira-kira seperempat tahun ini? Engkau tak tahu atau pura-pura tak tahu karena malu? Seharusnya kau tahu, aku menyimpannya untukmu. Selalu kujaga dan tetap terjaga. Ah, aku bermimpi terlalu lelap sehingga aku lupa bangun. Tidak perlu kamu yang membangunkanku, aku sendiri bisa, seperti sekarang. Yang kusimpan masih terjaga, hanya saja sedikit terberatkan kenangan. Aku tak tahu artinya. Biasanya aku menyebutnya rindu. Benarkah?

Eh, aku tak menyimpanmu di kotak perhiasan macam berlian yang berjuta-juta rupiah nilainya. Kamu lebih berharga dari berton-ton barang-barang mewah semacam itu. Aku hanya menaruhmu di balik jantungku yang asik memompa darah tanpa terkecoh oleh kedatanganmu. Meski sesekali ingin copot bila di dekatmu. Aku menganggap hal itu sebagai gejala dari orang terjatuh, ya, jatuh cinta memang aneh.

Bayang-bayang yang kusimpan secara tak sembarangan itu meraung-raung ketika aku harus merasakan gelagat aneh dalam hidupku ketika mengenalmu, mengenal apa itu jatuh cinta. Walau aku masih sekecil benih padi, tapi aku tahu bagaimana anehnya terlempar ke dunia aneh semacam rindu, suka, kagum, sayang, dan cinta. Aku masih sekecil ini, santai saja, sebenarnya ini hanya rasa kagum. Kagum berat meski tak ada yang wajib dikagumi. Begitulah aku. 

Aku tak pernah bisa membaca isi hatimu
Ketika engkau enggan di sampingku, mungkin, aku tak tahu
Hanya saja, sekali saja
Kamu harus tahu apa yang merasuk ragaku
Ada kamu di setiap denyut nadiku
Bukan hanya itu
Aku menunggumu di malam yang terhanyut mimpi
Ketika sunyi mencabik
Aku mengingatmu lagi, pelan-pelan
Yang kurasa, kenangan itu  ternyata masih kusimpan
Meski sedikit terlupa
Harus ku katakan ini,
Aku lupa senyummu, sedikit
Sepersekian detik yang kau beri untukmu, waktu lalu
Tapi tenang, selain senyummu, aku masih simpan tanganmu
Salah dari satu yang menurutku hebat yang ada padamu
Kali ini, aku tak perlu melelehkan air mata, lagi

Selasa, 21 Mei 2013

Sebaiknya Aku Pergi Dulu

Dulu kamu yang lebih sering pergi dari aku. Atau mungkin hanya pikiranku saja. Entah, aku selalu merasa kamu menjauhiku setiap saat. Setiap kita ada bersama. Ada saja celah yang membuatmu cepat-cepat menghindar, pikirku.

Kini aku yang akan pergi. Tunggu sampai waktu mengungkap kapan aku harus melangkahkan kaki bercocok harap yang masih untukmu. Sebenarnya bukan ku ragu. Hanya saja, aku belum sempat mendengar kata "selamat jalan" atau "sampai jumpa" bahkan mungkin "jaga dirimu baik-baik, aku akan merindumu, selalu". Jika kalimat itu berat karena kamu enggan, ya, tak apa. Tapi setidaknya kamu mau, sekali saja, buatlah aku tenang. Buatlah aku merasa sedikit penting di hidupmu.

Sempat-sempatkanlah berbagi canda ataupun tangis untukku, aku rela di waktu yang sebentar ini. Mendengarmu bercerita meski sekali saja, itu inginku dari dulu. Dulu yang sudah menjadi masa lalu. Tinggalkan saja, meski aku berkali-kali ingin mengulang. 

Semakin hari, terbuka jalanku untuk pergi darimu. Dan sebaiknya aku harus pergi dulu. Aku tetap menjagamu dari jauh. Jauh sekali. Melalui perasaan, aku menjaga risaumu. Kusempatkan berdoa agar kau diberi kebahagiaan oleh Tuhan. Tuhanmu juga Tuhanku. Kita punya Tuhan yang sama. Aku jadi lebih pantas berdoa untukmu. Menyebutmu terpenggal-penggal karena bergetar menyebut aksara namamu. Namun aku ikhlas berdoa, tak kau balas, aku sudah biasa. Nikmatilah.

Sebaiknya aku pergi lebih cepat. Sebelum aku benar-benar takut merasa kehilangan. Lupakanlah apa yang pernah aku perbuat kepadamu. Sebentar lagi kau akan bersenang-senang, tanpa kubelenggu. Namun jujur, aku tak pernah mengharapkan sebuah perpisahan ketika kita saling mengenal.

Sudah, sebaiknya aku segera berkemas. Lupakan saja aku jika kau tak bisa memaafkanku...

Senin, 20 Mei 2013

Tapi Kamu Tidak Seperti Aku

Mengenalmu berarti mengajarkan padaku akan arti keikhlasan. Keikhlasan yang bukan biasa-biasa saja. Inilah keikhlasan yang luar biasa. Tak ada yang bisa melihat, hanya dirasakan hasilnya. Sedikit melukis garis senyuman dan sisanya meleburkan air mata. Bukan. Bukan tangisan. Tapi kebahagiaan. Sejak awal, ini keikhlasan.

Bisa saja kuceritakan rasaku yang belum berumur lima puluh tahun. Usiaku belum setua itu. Namun, mengapa begini renta ketika aku tak bersamamu atau kamu tak bersamaku. Kuceritakan semuanya pun kau tak tentu ingat dan kaget lalu tiba-tiba memelukku rapat dan melepasnya dengan halus. Aku bisa saja halus, kok, sama kamu. Tapi kamu tidak seperti aku. Tidak. Kamu tidak jahat. Hanya saja menyakitkan. Tapi. Tapi itu bukan salahmu. Sama sekali bukan salahmu. Seluruhnya salahku. Aku yang teriming-iming dengan harapanku. Tapi bukan kamu yang mengimingi. Kamu diam. Hanya diam. Sudah, selesai. Kamu tidak seperti aku. Dan aku tidak bisa seperti kamu. Rasaku yang setebal itu, susah untuk menjadi kamu. Meski ingin.

Setiap hari kuserahkan semua perhatian untukmu. Walau aku lupa harus perhatian padamu, namun aku ingat. Tetap ingat, sampai benar-benar lupa. Tapi kamu tidak seperti aku. Kamu diam saja. Aku tak tahu sebenarnya isi hatimu. Karena aku bukan hatimu, mungkin. Entah kamu sebenarnya terkecoh olehku atau diam, cuek, aku bukan apa-apa, nothing.

Kamu tidak seperti aku yang setiap malam lancar memanjatkan doa agar aku bertemu denganmu meski di mimpi. Ataukah sesadis ini, kamu memimpikanku di malammu yang hangat bersama selimut yang memeluk bagaikan diriku. Itulah harapan. Tak salah berharap meski hanya sekedar berharap. Berharap itu indah, selebihnya menyakitkan kalau tak terkabulkan. Begitulah, harus bersyukur.

Satu lagi sebelum aku menutup kisah ini. Aku belum bisa menggapai gunung yang di sana ada racikan yang bila ku telan, semua isi otak dan hatiku yang seluruhnya berisi kamu akan hangus. Tak tersisa setetes pun rasa seperti sebelumnya. Tapi, ingat. Bukan berarti melupakan semua sosokmu. Hanya rasaku yang hilang. Dan semoga kamu seperti aku. JJ

Hujan Tahu Ke Mana Arah Rinduku

Aku simpan pesanmu sampai berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Ada atau tiada gunanya pun kamu tak tahu kan? Tapi gunanya benar-benar ada. Di saat aku lupa kapan terakhir kamu mengirim pesan untukku, aku bisa melihat simpanan pesanmu yang kujaga begini apik. Jika itu menjadi pesan terakhirmu untukku, setidaknya aku masih punya, begitu.

Ada berbagai macam cara bagaimana bisa kusampaikan rindu semacam ini. Kalaupun sampai, kamu pun tak tahu, iyakan? Kepada hujan, angin, malam, dan bintang, sering mereka berbaik hati untuk membantuku menyampaikannya untukmu. Menyampaikan rindu, salam, atau ucapan selamat malam. Walaupun tak pernah kau dapatkan, tapi semuanya ada padamu. Tepat ketika malam menyampaikan mimpi.

Kini hujan datang lagi. Waktunya kusampaikan selamat siang untukmu dan makan siang di meja makanmu. Tak boleh ada yang memakan salamku kecuali engkau. Kecuali kamu yang kupilih menerima ini. Aku juga mengatakan aku merindumu di siang ini. Bersama hujan, senandungku memang tak tampak. Rinduku yang mengiang-ngiang. Hanya saja, tak terlihat dari luar. Jika dirasa-rasakan, rindu ini berat. Iyakan?

Hujan tak pernah terlambat sampaikan salamku padamu. Tanpa kuberi tahu alamat rumahmu, letak kamarmu, dan keberadaanmu sekarang. Akupun juga tak tahu semuanya. Hujan tahu aku rindu, cukup kusebutkan nama lengkapmu, dan kutunjukkan satu fotomu. Sudah, setelah itu dia datang padamu dan mengucap semuanya. Tanpa kamu terima, tapi disampaikannya dengan pasti padamu. Yang pasti dariku.

Setelah hujan pergi, dan rinduku masih teruntuk untukmu. Ke mana harus kusampaikan maksudku?
Kepada Tuhanlah aku bermunajat. Iya, kepada Tuhan. Dia tahu semua arah-arah rinduku. Hujan hanya tahu ketika rinduku untukmu, saat hanya untukmu, untukmu.

Kamis, 16 Mei 2013

Aku pun Menunggu Waktunya Berpisah

Hai, lama sudah aku tak mengunjungi mu. Mungkin engkau lupa, tapi aku masih ingat. Dan bayangkan, aku tak pernah lupa semua tentangmu. Meski ingin melupakan, tapi aku belum benar - benar lupa. Nanti, waktulah yang akan membantuku melupakan segalanya.

Seperempat dari hatiku, begitu, ingin melupakanmu. Tengoklah sisanya, semua masih memujamu.

Terlalu cepat pertemuan menjadi sebuah perpisahan yang menyakitkan, menyesakkan. Sesuatu yang harus terjadi. Suatu saat nanti akan terjadi. Aku bisa menunggu, maka aku mampu menjalaninya.

Aku pernah ingin kita tak akan pernah berpisah. Kita baru bertemu. Baru berkenalan. Bejatnya, mengapa harus ada perpisahan di antara puing - puing perasaan yang memang sudah berkeping - keping? Mungkin ini cara Tuhan memperbaiki kepingan - kepingan itu lagi untukku.

Rasa, harusnya kau yang paling tahu. Tapi kau tak tahu. Apa aku benar - benar rela menunggu waktu berpisah, atau hanya perkataan munafikku saja?
Rasa, jika benar aku sudah ikhlas menerima kenyataan. Aku harap engkau segera melupakan. Kapan pun dia mau mengucapkan selamat tinggal, aku terima.
Rasa, begini saja, aku menangis dulu, nanti kucarikan penggantinya yang lebih hebat.