Susah memang mengatakan sesuatu yang indah sebagai sebuah keburukan. Begitu juga denganmu. Tak pernah sekalipun dalam seumur hidupku setelah aku mengenalmu dengan begitu sedikit, aku mengatakan sesuatu yang negatif tentangmu, sama sekali tidak pernah. Jikalau pernah, sebenarnya itu bukan dari hati. Aku hanya ingin mengganjal pikiran orang saja agar tak terlihat kalau aku benar-benar mengagumimu, sangat.
Beberapa hari ini hariku semakin senyap. Kurasakan lambat laun senyummu hilang dari ingatan. Aku tak sengaja, maaf. Tapi ini yang Tuhan mau. Aku harus sadar, ada waktu kita bertemu dan ada waktu juga kapan kita akan berpisah. Menyesali pertemuan disaat perpisahan akan digelar memang sering kali kulakukan. Kini, harus kusesali. Perpisahan menyurutkan kenangan yang semakin menggenang. Semakin dalam semakin susah dilupa. Makanya, Tuhan memisahkan kita dalam waktu dekat ini.
Kalau dibilang rindu, aku tak tahu. Yang kurasakan, seluruh ingatan yang berkaitan denganmu, sedikit demi sedikit memudar. Menghilangkan bekas noda bernama rindu. Jika aku salah mengartikan, maafkan saja. Aku hanya manusia biasa. Tapi apa benar ini disebut rindu? Secepat inikah aku merasakan perihnya? Aku tak suka. Namun harus kurasakan. Kamu, boleh saja merasakan, tapi jangan banyak-banyak. Sakit, lho, sakit sekali.
Mungkin ini benar-benar rindu. Oh, atau hanya rasa takut tentang kehilangan. Ah, semua dilebur di tempat yang sama. Kamu, rindu, perpisahan, kehilangan, cinta, sayang, semua ada di sini, di hatiku.
Sebelum aku berhenti mencintaimu, berhenti mencintai tanganmu, apa aku harus mencicipi rindu sebelum perpisahan dan kehilangan itu benar-benar terjadi?
Ya, aku yakin, ini benar-benar rindu. Wajahmu jarang sekali menyalamiku. Apalagi senyummu sudah sangat jarang terkulum untukku. Terus, sekarang apa lagi yang akan kau jauhkan padaku? Ah, semua yang kau sandarkan dulu dan kini kau jauhkan benar-benar semakin melilit tempat di mana kusimpan semua kenangan.
Aku rindu padamu. Pada semua yang ada padamu, terutama tanganmu.
Beberapa hari ini hariku semakin senyap. Kurasakan lambat laun senyummu hilang dari ingatan. Aku tak sengaja, maaf. Tapi ini yang Tuhan mau. Aku harus sadar, ada waktu kita bertemu dan ada waktu juga kapan kita akan berpisah. Menyesali pertemuan disaat perpisahan akan digelar memang sering kali kulakukan. Kini, harus kusesali. Perpisahan menyurutkan kenangan yang semakin menggenang. Semakin dalam semakin susah dilupa. Makanya, Tuhan memisahkan kita dalam waktu dekat ini.
Kalau dibilang rindu, aku tak tahu. Yang kurasakan, seluruh ingatan yang berkaitan denganmu, sedikit demi sedikit memudar. Menghilangkan bekas noda bernama rindu. Jika aku salah mengartikan, maafkan saja. Aku hanya manusia biasa. Tapi apa benar ini disebut rindu? Secepat inikah aku merasakan perihnya? Aku tak suka. Namun harus kurasakan. Kamu, boleh saja merasakan, tapi jangan banyak-banyak. Sakit, lho, sakit sekali.
Mungkin ini benar-benar rindu. Oh, atau hanya rasa takut tentang kehilangan. Ah, semua dilebur di tempat yang sama. Kamu, rindu, perpisahan, kehilangan, cinta, sayang, semua ada di sini, di hatiku.
Sebelum aku berhenti mencintaimu, berhenti mencintai tanganmu, apa aku harus mencicipi rindu sebelum perpisahan dan kehilangan itu benar-benar terjadi?
Ya, aku yakin, ini benar-benar rindu. Wajahmu jarang sekali menyalamiku. Apalagi senyummu sudah sangat jarang terkulum untukku. Terus, sekarang apa lagi yang akan kau jauhkan padaku? Ah, semua yang kau sandarkan dulu dan kini kau jauhkan benar-benar semakin melilit tempat di mana kusimpan semua kenangan.
Aku rindu padamu. Pada semua yang ada padamu, terutama tanganmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar