Mengenalmu berarti mengajarkan padaku akan arti keikhlasan. Keikhlasan yang bukan biasa-biasa saja. Inilah keikhlasan yang luar biasa. Tak ada yang bisa melihat, hanya dirasakan hasilnya. Sedikit melukis garis senyuman dan sisanya meleburkan air mata. Bukan. Bukan tangisan. Tapi kebahagiaan. Sejak awal, ini keikhlasan.
Bisa saja kuceritakan rasaku yang belum berumur lima puluh tahun. Usiaku belum setua itu. Namun, mengapa begini renta ketika aku tak bersamamu atau kamu tak bersamaku. Kuceritakan semuanya pun kau tak tentu ingat dan kaget lalu tiba-tiba memelukku rapat dan melepasnya dengan halus. Aku bisa saja halus, kok, sama kamu. Tapi kamu tidak seperti aku. Tidak. Kamu tidak jahat. Hanya saja menyakitkan. Tapi. Tapi itu bukan salahmu. Sama sekali bukan salahmu. Seluruhnya salahku. Aku yang teriming-iming dengan harapanku. Tapi bukan kamu yang mengimingi. Kamu diam. Hanya diam. Sudah, selesai. Kamu tidak seperti aku. Dan aku tidak bisa seperti kamu. Rasaku yang setebal itu, susah untuk menjadi kamu. Meski ingin.
Setiap hari kuserahkan semua perhatian untukmu. Walau aku lupa harus perhatian padamu, namun aku ingat. Tetap ingat, sampai benar-benar lupa. Tapi kamu tidak seperti aku. Kamu diam saja. Aku tak tahu sebenarnya isi hatimu. Karena aku bukan hatimu, mungkin. Entah kamu sebenarnya terkecoh olehku atau diam, cuek, aku bukan apa-apa, nothing.
Kamu tidak seperti aku yang setiap malam lancar memanjatkan doa agar aku bertemu denganmu meski di mimpi. Ataukah sesadis ini, kamu memimpikanku di malammu yang hangat bersama selimut yang memeluk bagaikan diriku. Itulah harapan. Tak salah berharap meski hanya sekedar berharap. Berharap itu indah, selebihnya menyakitkan kalau tak terkabulkan. Begitulah, harus bersyukur.
Satu lagi sebelum aku menutup kisah ini. Aku belum bisa menggapai gunung yang di sana ada racikan yang bila ku telan, semua isi otak dan hatiku yang seluruhnya berisi kamu akan hangus. Tak tersisa setetes pun rasa seperti sebelumnya. Tapi, ingat. Bukan berarti melupakan semua sosokmu. Hanya rasaku yang hilang. Dan semoga kamu seperti aku. JJ
Bisa saja kuceritakan rasaku yang belum berumur lima puluh tahun. Usiaku belum setua itu. Namun, mengapa begini renta ketika aku tak bersamamu atau kamu tak bersamaku. Kuceritakan semuanya pun kau tak tentu ingat dan kaget lalu tiba-tiba memelukku rapat dan melepasnya dengan halus. Aku bisa saja halus, kok, sama kamu. Tapi kamu tidak seperti aku. Tidak. Kamu tidak jahat. Hanya saja menyakitkan. Tapi. Tapi itu bukan salahmu. Sama sekali bukan salahmu. Seluruhnya salahku. Aku yang teriming-iming dengan harapanku. Tapi bukan kamu yang mengimingi. Kamu diam. Hanya diam. Sudah, selesai. Kamu tidak seperti aku. Dan aku tidak bisa seperti kamu. Rasaku yang setebal itu, susah untuk menjadi kamu. Meski ingin.
Setiap hari kuserahkan semua perhatian untukmu. Walau aku lupa harus perhatian padamu, namun aku ingat. Tetap ingat, sampai benar-benar lupa. Tapi kamu tidak seperti aku. Kamu diam saja. Aku tak tahu sebenarnya isi hatimu. Karena aku bukan hatimu, mungkin. Entah kamu sebenarnya terkecoh olehku atau diam, cuek, aku bukan apa-apa, nothing.
Kamu tidak seperti aku yang setiap malam lancar memanjatkan doa agar aku bertemu denganmu meski di mimpi. Ataukah sesadis ini, kamu memimpikanku di malammu yang hangat bersama selimut yang memeluk bagaikan diriku. Itulah harapan. Tak salah berharap meski hanya sekedar berharap. Berharap itu indah, selebihnya menyakitkan kalau tak terkabulkan. Begitulah, harus bersyukur.
Satu lagi sebelum aku menutup kisah ini. Aku belum bisa menggapai gunung yang di sana ada racikan yang bila ku telan, semua isi otak dan hatiku yang seluruhnya berisi kamu akan hangus. Tak tersisa setetes pun rasa seperti sebelumnya. Tapi, ingat. Bukan berarti melupakan semua sosokmu. Hanya rasaku yang hilang. Dan semoga kamu seperti aku. JJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar