Sabtu, 14 September 2013

Kakak Jangan Pulang #1

Tulisan ini.
Tulisan ini yang khusus ku tulis pertama kali untuk kakakku.
Silakan anggap ini fiksi, tapi ini nyata.
Dan silakan anggap ini nyata, tapi ini fiksi.
Kakakku, Fattahilah Nakhla.
Fattahilah artinya pemimpin yang agung.
Sedangkan Nakhla adalah orang yang pandai.
Kakakku punya nama seindah itu. Tapi dia bukan kakakku.

Kakak pernah bercerita bagaimana pertama dia melihatku. Melihatku yang masih merah dan hanya bisa menangis. Kakak senang memandangku ketika menangis. Bahkan, aku sering dicubit agar aku menangis. Kakak tak pernah bisa mengistirahatkan tangisku barang sebentar. Itu jadinya, dia dimarahi ibu setiap kali ingin mencubitku. Namun kakak tidak lantas pergi atau mencari pilihan lain untuk bermain. Dia malah ikut menangis denganku. Inginnya adalah membuat ibu menangis karena aku dan kakak menangis. Kakak memang aneh.

"Nazihah, apa kamu pernah bertemu ibu di mimpi?" Nazihah namaku, dan kakak menyebutnya pelan dan halus. Aku suka ketika kakak mengucapnya.
"Tidak penah," jawabku.
"Kalau kamu bertemu ibu di mimpi dan beliau mengatakan kepadamu untuk membuat kakak selalu tersenyum, lantas bagaimana jawabmu?" kakak tersenyum ketika menanyaiku tentang berandai.
"Aku akan membuat kakak tersenyum setiap saat, setiap kakak ingin tersenyum,"
"Maka dari itu, aku harus membuatmu tersenyum ketika kamu ingin tersenyum dan ketika kamu diharuskan tersenyum. Mungkin aku ingin membuat hidupmu lebih sehat. Tersenyumlah untuk ibu sekarang, Nazihah," kakak menyebut namaku dengan bergetar.
"Kakak, kakak mengapa menangis?" sepertinya aku melihat tetes bening di ujung mata kakak. Kakak menangis? Baru kali ini aku melihatnya begini. Sesedih apakah dia?
"Tidak, kata siapa kakak menangis," kakak mencoba tersenyum. Namun yang kulihat itu lagi. Air mata. Meski di sela-sela wajah tegarnya.
"Aku melihatnya sendiri, Kak. Katanya kakak ingin membuatku selalu tersenyum. Lantas, mengapa kakak malah menangis?"
"Tidak, aku tidak menangis. Sudahlah, cepatlah makan, pasti kamu lapar," seperti biasa, kakak selalu menyembunyikan hal-hal seperti ini.

Kakak berbalik untuk mempersiapkan makan siang untuk kami berdua. Aku dan kakak. Kita sudah hidup berdua saja semenjak ibu pulang ke tempat paling indah, dan ayah pergi tanpa memikirkan kesetiaan. Tapi, selama ada kakak yang tertegar di seluruh dunia seperti Kak Nakhla, hidupku tidak serupa dengan rasa sakit. Rasa sakit setelah ditinggal ibu. Ditambah keperihan tanpa ayah. Kak Nakhla lah sebagai ibuku dan sebagai ayahku.

Setelah dari kamar untuk berganti baju, aku menemui kakak ku di meja makan. Dari depan pintu kamar aku melihatnya tampak sedih. Mengapa kakak begini? Bagaimana mungkin kakak bisa membuatku selalu tersenyum jika dia malah seperti ini. Kakak kenapa?

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar